Senin, 27 Oktober 2008

Orientalisme dan Al-Quran: Kritik Wacana Keislaman Mutakhir

Orientalisme dan Al-Quran: Kritik Wacana Keislaman Mutakhir
sumber: www.hidayatullah.com

Kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery dan kawan-kawan bersemangat
ingin "mengkorupsi" keotentikan Al-Quran. Namun hingga kini tetap
kokoh

"Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap
teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci
Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang
berbahasa Yunani," kutipan ini adalah pernyataan Alphonse Mingana,
seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas
Birmingham, Inggris. Pernyataan itu ia sampaikan tahun 1927.

Mengapa pendeta Kristen yang juga orientalis ini mengatakan seperti
itu? Tentu saja, ia bukan sedang bergurau. Pernyataan
orientalis-missionaris satu ini karena dilatarbelakangi oleh
kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan
juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab
suci nya Al-Quran.

Perlu diketahui mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen telah lama
meragukan otentisitas Bible. Mereka harus menerima kenyataan pahit
bahwa Bible yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli
alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya,
sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana
yang bukan.

Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland,
dalam The Text of the New Testament (Michigan: Grand Rapids, 1995).
Menurut Barbara, sampai pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian
Baru dikemmengembangkan secara leluasa. Yang jelas banyak yang
melakukan koreksi.

Pandangan seperti ini tidaklah sendiri. Saint Jerome, seorang rahib
Katolik Roma yang belajar teologi juga mengeluhkan fakta banyaknya
penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka
temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai
maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi
justru penambahan kesalahan.

"Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi apa yang mereka
pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan orang lain,
mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri," ujar Jerome sebagaimana
dikutip dalam The Text of the New Testament: Its Transmission,
Corruption and Restoration (1992).

Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720
Master of Trinity College, R. Bentley, menyeru kepada umat Kristen
agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang
diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan tersebut
kemudian diikuti oleh munculnya "edisi kritis" Perjanjian Baru hasil
suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) dan Fenton John Anthony
Hort (1828-1892).

Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan seruan semacam
itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada
tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav
Fluegel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang
dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat
dipakai "tadarrus" oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain
Flegel, datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah
Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya
yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan
Islam Liberal (JIL).

Kemudian muncul Theodor Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah
Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya
yang belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di Indonesia.

Juga Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang berambisi membuat
edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan
menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang
pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di
Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Quran
berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang
ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia
istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha
Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras
mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan
membuat edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua arsipnya di
Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yg
belum lama ini di "amini" kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking
antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’
(Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn
Jinni dan Ibn Khalaawayh.

Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran tidak sebatas
mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah
soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap
Islam maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing and
influence). Sebagian mereka bahkan berusaha mengungkapkan apa saja
yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ itu,
terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham
Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang membandingkan
ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain
sebagainya. Biasanya mereka katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran
banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka
anggap lebih akurat.

Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang
orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A.
Nicholson, " "Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e.
Al-Quran] by hearsay and makes a brave show with such borrowed
trappings-largely consisting of legends from the Haggada and
Apocrypha." Tapi, bagaimanapun, segala upaya mereka tak ubahnya
bagaikan buih, timbul dan pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah
berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap kitab
suci Al-Quran, apatah lagi membuat mereka murtad.

Kekeliruan & Khayalan Orientalis

Al-Quran merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis
Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah
Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau,
meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau
tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat
Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk
merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. khususnya dan sejarah Islam
umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti
mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bagi mereka,
Musa atau ‘Moses’ cuma tokoh fiktif belaka (invented, mythical figure)
dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri
dan cerita-cerita isapan-jempol.

Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus historis’,
mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad
saw? Demikian seru mereka.

Muncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical
Mohammad, dimana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw
sebagai "kepala perampok" (robber chief). Usaha Jeffery tersebut
diteruskan oleh F. E. Peters dan belum lama ini dilanjutkan oleh
seseorang yang menyebut dirinya "Ibn Warraq."

Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka
sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian
mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir
oleh seorang pengamat; "The studies carried out in the West … have
demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their
authors."

Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadits.
Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah
Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka,
teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi
bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun
sesudah Nabi Muhammad saw. wafat, bahwa hadits mengalami beberapa
tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka
anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik
(isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat Abbasiyyah.
Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadits hanya
sedikit saja yang sahih, manakala sisanya kebanyakan palsu. Demikian
pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya.

Pendapat ini telah banyak dikutip. Diantaranya dalam Muhammedanische
Studien (Halle, 1889), On Muslim Tradition," Muslim World, II/2
(1912): 113-21; Alter und Ursprung des Isnad ," Der Islam, 8 (1917-18)
juga Joseph Schacht dalam , A Revaluation of Islamic Traditions."
(Journal of the Royal Asiatic Society (1949)).

Umumnya para orientalis-missionaris menghendaki agar umat Islam
membuang tuntunan Rasulullah saw. sebagaimana orang Kristen meragukan
dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.

Keaslian Al-Quran & Kesalahan Orientalis

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa
diingat. Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau
writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam
arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian,
pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan,
bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’
Al-Quran adalah "membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin, atau
to recite from memory)." Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang
semata. Sebab ayat-ayat Al-Quran dicatat—yakni, dituangkan menjadi
tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain
sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah
tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.

Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara
mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin
keutuhan dan keaslian Al-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat
Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu ‘alaihi wa-sallam dan diteruskan
kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.

Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence
dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan
berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini.
Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat
dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen
tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau
recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking "the Qur’an as Text")
mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim
digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source
criticism, form criticism, dan textual criticism.

Akibatnya, mereka menganggap Al-Quran sebagai karya sejarah
(historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab
abad ke-7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada
sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka
sendiri tidak tahu pasti!), dan karenanya perlu membuat edisi kritis
(critical edition), merestorasi teks Al-Quran dan menerbitkan naskah
baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada

Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui
hafalan, Al-Quran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium
tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah saw., hampir seluruh
catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan
karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena
untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak
yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar
(tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka
tulis. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal Al-Quran
menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi
(jam’) Al-Quran mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas
inisiatif Khalifah Abu Bakar as-Siddiq sehingga Al-Quran dikumpulkan
menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand)
dan mutawattir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abu Bakar as-Siddiq
r.a. (13 H/ 634 M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a.
sampai beliau wafat (23 H/ 644 M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum
kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa beliaulah,
atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah komisi ahli sekali
lagi dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta
memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian
melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah
perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang
masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawattir yang disepakati
kesahihan periwayatannya dari Nabi saw. Jadi, sangat jelas fakta
sejarah dan proses kodifikasinya.

Para orientalis yang ingin mengubah-ubah Al-Quran biasanya akan
memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak
hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah
fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada
abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, seenaknya mengatakan, "That he
[i.e. Abu Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox
theory demands is exceedingly doubtful." Ia juga mengklaim bahwa "…the
text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and
we need to investigate what went before the canonical text."

Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui,
tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada
kurun awal Islam, Al-Quran ditulis ‘gundul’, tanpa tanda-baca
sedikitpun.

Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm
Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin
saat itu belajar Al-Quran langsung dari para Sahabat, dengan cara
menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada
manuskrip atau tulisan.

Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu
menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings
–sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel– serta keliru menyamakan
qira’aat dengan ‘readings’, padahal qira’aat adalah ‘recitation from
memory’ dan bukan ‘reading the text’.

Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus
mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu ‘alaihi
wa-sallam ("ar-rasmu taab’iun li ar riwaayah") dan bukan sebaliknya.

Orientalis seperti Jeffery dan kawan-kawan yang bersemangat ingin
"mengkorupsi" keotentikan Al-Quran tidak mengerti atau sengaja tidak
peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel; Al-Quran bukan lahir
dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Quran.

Buku berjudul asli "Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran", ini
merupakan kumpulan berbagai artikel Dr. Syamsuddin Arief dari berbagai
media massa. Meliputi; jurnal, harian, majalah, seminar dan colloquia.
Meski demikian, isinya tidak mengurangi ketajaman dan keutuhan isi
kandungannya, yang secara keseluruhan merefleksikan worldview Islam
dengan jelas dan gamblang. Tulisan-tulisan ini ditulis disela-sela
kesibukannya semasa menjadi mahasiswa S3 di ISTAC Malaysia dan juga
ketika menempuh program doktoralnya yang keduanya di "sarang"
orientalis di Frankfrut Jerman. Buku ini merupakan monograf perdananya
yang kebetulan diterbitkan bertepatan dengan ulang-tahun INSISTS yang
kelima pada 9 Februari lalu, momentum yang menandai pertautan antara
penulis buku ini dan INSISTS sendiri.

[syam/malki/cha/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar: