Senin, 21 Januari 2008

tetes embun

Assalamu'alaikumwrwb,,,
na baru aja nulis cerpen,
baca yah!
Wajik Klethik Mbah

Ulin menatap langit-lngit kosnya. Pandangannya menerawang berharap menembus cakrawala, menemukan pisau membedah pikirannya. Beberapa tumpukan buku kimia teronggok di sudut ruangan, angin sepi meniupkan jarak antara Ulin dengan teman kosnya yang sejak tadi duduk sambil membolak-balik majalah. Suasana sepi itu terpecah oleh detik jam dinding yang mengejek kebisuan malam ini.
“Lin, apa keputusanmu?”
Ulin tak menjawab. Ia tetap tidak mengalihkan pandangan dari langit-langit kosnya. Mungkin ia sendiri tak mendengar pertanyaan Digma, temannya.
“Lin, kamu jadi pulang, kan?” Tanya Digma sekali lagi sambil mendekati Ulin. “Entahlah Dig, sebenarnya aku ingin sekali pulang, tapi tugasku di sini masih menumpuk. Banyak tugas presentasi yang belum kubuat, beberapa literatur buku polimer logam juga belum kudapatkan. Aku pusing sekali Dig….” Kata Ulin sambil mengembuskan napas dengan keras.
“Kalau menurutku kamu sebaiknya pulang Lin.”
“Aku ingin sekali pulang tapi kau tahu sendiri keadaanku,” Ulin berkata lirih sambil memejamkan mata, pikirannya melayang jauh ketika ia masih di Solo. Di Solo, Ulin tinggal bersama ayah, Ibu dan mbahnya. Saat itu Ulin adalah siswi di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di Solo. Di kelas Ulin termasuk murid yang pandai, ia selalu mendapatkan peringkat 10 besar di kelas. Memasuki kelas 3, Ulin mulai berpikir untuk memilih PTN yang ia inginkan.
Malam itu setelah sholat isya’ berjamaah bersama keluarganya, Ulin menyampaikan isi hatinya.
“Bapak, Ibu, Mbah….” Kata Ulin lirih sambil menahan gemuruh di dadanya, hatinya kebat-kebit, Ia mengambil napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.
“Kenapa, Nduk?” Sahut Bapaknya.
“Ulin kan sudah kelas tiga, Ulin ingin kuliah di kota lain,”ucap Ulin hati-hati.
“Oalah nduk….kuliah kok jauh-jauh apa di Solo ndak ada?” mbahnya langsung merespon Ulin.
Bapak masih terdiam, keningnya berkerut, Ia sedang berpikir. Di samping Beliau, Ibu juga terdiam menunggu kata-kata suaminya. Ulin sudah menduga bahwa tidaklah mudah bagi keluarganya untuk meluluskan keinginannya.
“Lin…” kata Bapak denan suara berat. “Kalau kamu kuliah di luar kota, siapa yang akan ngurus kamu, Nduk, kamu akan jauh dari keluarga. Bapak ndak tega, Nduk,” ujar Bapak.
Suasana kembali hening, hanya suara jangkrik yang memecah heningnya malam. Sesaat kemudian Ulin mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menanggapi ujaran Bapaknya.
“Ulin sudah memikirkan hal itu ,Pak. Bapak tidak usah khawatir, Ulin kan sudah besar, sudah bisa mengurus diri sendiri,” ucap ulin mencoba menyakinkan keluarganya.
“Ndak! Pokoknya kamu ndak boleh kuliah jauh-jauh, kuliah kan bisa di Solo, dekat dengan rumah. Mbah ndak setuju,” kata Mbah hampir menangis.
“Ibu, sudah tenang dulu, kita dengarkan alasan Ulin,” kata Ibu sambil memberi kode pada Ulin untuk meneruskan kata-katanya.
Tenggorokan Ulin terasa tercekat, Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.
“Pak, Bu, Mbah, Ulin ingin cari pengalaman di kota lain, Ulin tahu kalian mengkhawatirkan Ulin, tapi Ulin ingin mengejar cita-cita di kota lain. Ulin punya cita-cita yang ingin Ulin raih dan cita-cita itu bukan di Solo,” kata Ulin perlahan.
“Bukan di Solo? Lalu di mana, Nduk?” Ibu angkat bicara.
“Jakarta….,” ujar Ulin lirih
“Oalah Nduk, Jakarta itu jauh….apa kamu ndak kejauhan kuliahnya?” Tanya Mbah.
“Mbah, Jakarta itu ndak jauh kok, nanti kalau Ulin kangen rumah Ulin bisa pulang sendiri..” ujar Ulin
“Kenapa mesti Jakarta, Nduk?” Tanya Bapak sambil menatap buah hatinya.
“Di Jakarta mutu pendidikannya jauh lebih baik daripada disini, Pak. Lagi pula Ulin ingin menambah pengalaman. Ulin ingin punya teman dari banyak daerah, kalau Ulin kuliah di sini, Ulin tidak bisa mendapatkan itu semua…”
“Mbah pokoknya ndak setuju!” kata Mbah sambil pergi meninggalkan Bapak, Ibu dan Ulin.
“Ya sudahlah, biarkan Mbahmu menenangkan diri, kalau kamu memang maunya begitu Bapak sih setuju saja. Kami anggap kamu tahu yang terbaik bagi kamu,”ujar Bapak.
Ulin lega sekali mendengar hal itu. Niatnya untuk kuliah di Jakarta direstui oleh orang tuanya, walaupun Mbahnya masih belum setuju.
“O ya, Pak, Ulin ingin masuk Teknik,”ujar Ulin lirih.
“Apa-apaan kamu! Teknik? Wis tho ndak usah neko-neko, kamu itu perempuan. Tidak ada silsilah keluarga yang masuk Teknik. Keluarga kita keluarga santri. Bapak ndak sanggup melihatmu masuk Teknik dan berbaur di lapangan bersama puluhan laki-laki yang tak satu pun di antara mereka muhrim kamu. Bapak lebih suka kamu masuk keguruan, kamu jadi guru, mengajarkan ilmu pada orang ain dan amal jariahmu terus mengalir Nduk…”
“Pak, Arsitek, Insinyur,dan Ilmuan juga berguna untuk orang lain. Islam juga butuh Arsitek, Insinyur,dan Ilmuan. Pak, Bu, Ulin mohon…Ulin ndak mau jadi anak durhaka. Ulin mohon Bapak dan Ibu restui langkah yang akan Ulin ambil,” ujar Ulin hati-hati.
Rupanya malam itu menjadi malam yang berat bagi Ulin. Ia harus berusaha meyakinkan orang tuanya agar meluluskan keinginannya. Usaha Ulin berbuah hasil, Bapak dan Ibu setuju.
Berbulan-bulan Ulin belajar giat agar dapat lolos SPMB dan diterima di PTN yang ia inginkan. Saat SPMB, Ulin lolos dan diterima di PTN yang ia inginkan. Seluruh keluarga menyambut berita itu dengan suka cita, kecuali Mbah. Hal itu terlihat jelas saat keberangkatan Ulin ke Jakarta, Mbah tidak mau mengantar. Hati Ulin bagai teriris sembilu, sungguh ia tak ingin menyakiti Mbahnya. Ia tahu Mbahnya tak ingin kehilangan dirinya tetapi Ulin pun tak ingin cita-citanya terempas begitu saja.
Satu bulan Ulin di Jakarta, ia pulang untuk melepas rindu pada keluarganya. Begitu ia melangkah memasuki rumah, keluarganya menyambut gembira.
“Oalah Nduk, kamu kok lama sekali baru pulang. Mbah kangen,Nduk…,” kata Mbah sambil menciumi Ulin.
Ulin senang Mbahnya sudah bisa menerima keadaan. Namun sayang, saat-saat indah itu pun harus berakhir ketika Ulin akan kembali ke Jakarta. Agaknya rasa sayang Mbah pada Ulin mampu menggeser duka pada ceria. Ulin kembali ke Jakarta diantar oleh seluruh anggota keluarganya, termasuk Mbah.
Memasuki semester ke-3, tugas-tugas yang bejibun memaksa Ulin untuk berlama-lama di Jakarta dan jarang pulang ke Solo, Ulin sebenarnya juga merindukan rumahnya di Solo tapi apa mau dikata, ia tidak ingin tugasnya menumpuk, namun kali ini kerinduan yang membuncah di dadanya tak tertahankan lagi.
“Aku mau pulang, Dig, aku merindukan Mbah. Kamu benar, Beliau sedang sakit, Beliau membutuhkan aku di sisinya. Tugasku penting tapi Mbahku jauh lebih penting,”kata Ulin sambil bangun dari tempat tidurnya.
“Iya Lin, kamu mengambil keputusan yang tepat, ayo berkemas, akan kubantu,”ujar Digma semangat.
Ulin segera meraih tas ransel di bawah meja, Ia mengambil beberapa potong baju dari dalam almari lalu memasukkannya ke dalam tas dibantu Digma.

****
“Apa Ulin sudah memberi kabar, Bu?” Bapak menunggu kedatangan Ulin dengan cemas.
“Iya, Pak, tadi pagi dia telepon, katanya hari ini dia akan sampai sekitar jam lima sore, kita tunggu saja, Pak,” ujar Ibu menenangkan Bapak.
Sudah sekitar pukul setengah enam sore, Ulin belum juga tiba, Bapak dan Ibu melai cemas, ibu berkali-kali menelpon ke handphone Ulin, tetapi sedang tidak aktif.
“Duh, Pak. Bapak coba susul Ulin ke terminal sana, ibu jadi cemas,” kata Ibu cemas.
Dari dalam kamar nenek terdengar suara batuk, Ibu dan Bapak segera masuk untuk melihat nenek.
“Uhuk-uhuk! Mana Ulin, kok belum datang uhuk-uhuk!”
“Ulin masih di jalan Bu, sebentar mau saya susul ke terminal, siapa tahu dia lagi nunggu angkot buat ke sini,” kata Bapak sambil mengambil jaket dan bersiap ke luar. Beberapa langkah keluar dari kamar nenek, Ibu berlari kecil menyusul.
“Pak, nanti jangan lupa beli obat buat ibu ya, obatnya tinggal sedikit,” kata Ibu mengingatkan.
Bapak mengiyakan kata-kata ibu lalu mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Beberapa saat kemudian Bapak melaju dengan motornya. Bapak mengendarai motor dengan pikiran yang kacau. Beliau mencemaskan Ulin, anak perempuan satu-satunya di keluarganya, yang sampai sekarang belum tiba di rumah. Langit sudah mulai gelap. Bapak semakin mempercepat laju sepeda motornya. Saat sampai di depan pertigaan pasar, Bapak melihat sosok berjilbab biru yang amat dikenalnya. Ulin!
Bapak menghentikan sepeda motornya tepat di depan Ulin.
“Lin, ngapain kamu disini? Bapak, Ibu sama Mbah itu cemas nungguin kamu! Bentak Bapak sambil menatap tajam Ulin.
“Maaf, Pak tadi Ulin beli wajik klethik kesukaan Mbah, Mbah kan sakit pasti senang kalau Ulin bawain wajik klethik…”
“Lha terus kenapa masih di sini?”
“Ulin ketinggalan angkot , Pak,” ucapUlin dengan wajah penuh sesal,” Ulin minta maaf, Pak sudah membuat keluarga cemas,” sambung Ulin.
“Yo wis, yo wis. Ayo kita pulang, Mbah sudah nungguin kamu!”
Ulin segera duduk di belakang Bapaknya. Ada sedikit sesal yang merayap di dadanya, Ah kalau saja aku tak ketinggalan angkot, batinnya.
Sepeda motor itu melaju kencang menembus pekatnya malam. Udara dingin mulai menusuk pori-pori kulit Ulin. Sesampainya di pertigaan dekat rumahnya,tiba-tiba SRETTT!!!Sebuah sepeda motor hamper menabrak Ulin dan Bapaknya.
“Woi…dasar wong edan,malam-malam ngebut di jalan raya,dikira jalan milik nenek moyang kamu tho,”Bapak marah marah kepada pengendara sepeda motor itu. Sayang, orang itu justru melaju semakin kencang.Tiba-tiba Ulin merasakan hawa dingin yang berbeda. Ada perasaan tak enak yang hinggap di hatinya,tapi ia segera menepisnya.
Beberapa saat kemudian, Ulin dan Bapak sampai di halaman rumah. Ulin membawa tas plastik berisi wajik kletik kesukaan Mbahnya.
Sesampainya di teras, Ulin dan Bapak kaget melihat kerumunan di rumahnya. Perasaan tidak enak seketika menjalar di hati mereka. Seorang tetangga, Bu Suti, keluar dengan berlinangan air mata. Ia berlari menuju Ulin.
“Lin, Mbahmu, Nduk…”
“Mbahmu, … Mbahmu Nduk…” Bu Suti tidak bisa meneruskan kalimatnya. Ulin terdiam. Ia tak perlu mendengar apa-apa lagi, ia sudah bisa membaca apa yang terjadi.
Tiba-tiba ia merasa gelap.